Abi Ummi

  • Home
  • Parenting
    • Bayi
    • Balita
    • Anak
    • Dewasa
    • Keluarga
    • Masyarakat
  • Islam
    • Info Islam
    • Ramadan
    • Alquran
  • Hunian
    • Desain dan Interior
  • Opini
  • Fashion
  • Kesehatan
    • Kecantikan
    • Kehamilan
    • Makanan
    • Resep
  • Kisah
    • Cerita Anak
    • Inspirasi
    • Contoh Kasus
  • Fun
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
    • Cerpen
    • DIY (Do It Yourself)
    • Puisi
  • Komunitas
    • Desa Quran
Home / Fun / Cerpen / Memangnya Kenapa Jika Aku Anak Tengah? #1

Memangnya Kenapa Jika Aku Anak Tengah? #1

April 11, 2015 by Wini Nurhanifah

Memangnya Kenapa Jika Aku Anak Tengah 1

32

SHARES

Bagikan di Facebook

Menjadi anak tengah itu tidak enak. Merasa asing di rumah, merasa tak memiliki posisi apa-apa. Yang tertua bukan, menjadi yang termuda juga bukan. Bukan menjadi anak yang selalu mendapat kepercayaan seperti si sulung, bukan juga menjadi anak yang selalu menjadi pusat perhatian seperti si bungsu.

Dulu, di usia kanak-kanakku, aku memilik dua orang kakak dan dua orang adik. Posisiku tepat berada di tengah-tengah, jadilah aku anak tengah. Posisi yang pas sekali untuk membuatku merasa sendiri dan tidak memiliki teman. Terlebih ketika si sulung meledekku sambil berkata, “Hahaha …. Enggak punya teman. Aa sama Teh Empi, Doni pasangannya si Nina (bungsu), mama sama bapak, kamu sendiri enggak punya teman.”

Sempurna. Kalimat itu tertancap tepat di ulu hatiku. Meninggalkan perih di dadaku sebagai anak yang satu-satunya “enggak punya pasangan” di rumah selama bertahun-tahun. Anak yang tak jelas posisinya di keluarga. Anak yang tak memiliki pasangan untuk bermain. Hal itu tertanam kuat dalam hatiku. Sejak kalimat itu terucap, bertahun-tahun aku merasa tak ada yang menyayangiku. Kelakuanku yang menyebalkan dan cengeng membuat semua saudaraku tak mau mengajakku bermain. Mereka menghindariku, mengunci pintu kamar, dan meninggalkanku sendiri. Bagus. Semua dengan kompak menjauhiku dan membuatku benci menjadi anak tengah.

Seperti biasa, hari Minggu selalu menjadi hari yang menyenangkan untuk berdiam diri di rumah. Tidur-tiduran bersama saudara-saudaraku, kemudian menonton film serial kartun Dragon Ball. Usai menonton film, aku melihat kakak sulungku membuat jadwal pelajaran untuk ia tempel di depan meja belajarnya.

“Bikin apaan, A?” Aku menghampiri si sulung yang sedang tidur tengkurap sambil mencoret-coret buku tulisnya.

“Jadwal pelajaran,” jawabnya.

Serunya melihat ia menghias tulisan nama-nama hari di atas kertas.

“Ikutan, ah ….” Aku pun ikut-ikut mengambil buku tulis dan pensilku. Menyontek apa yang ia tulis.

“Ikut-ikutan aja,” ucapnya singkat.

“Biarin,” jawabku santai, meskipun sebenarnya agak sebal.

Setelah selesai, hasil buatanku tak sebagus hasil buatannya. Itu karena aku masih kelas satu SD, sedangkan dia sudah kelas lima SD. Jelas saja beda jauh, apalagi dia memang memiliki bakat menggambar yang cukup baik. Dia memiliki kemampuan yang diwarisi langsung dari ayahku.

“Apaan tuh tulisannya begitu. Mana ngikutin lagi hari Minggu-nya ditulis libur.”

Buk …. Aku meninju punggung kakak sulungku. Entah dia merasakan sakit atau tidak. Karena kesal dia terus meledekku, aku pun semakin kesal ingin terus mengejar dan melayangkan bogem mentah di wajahnya. Namun, dia terus menghindar. Akhirnya, aku menangis karena kesalku tak cukup tersalurkan jika hanya dengan satu tonjokan. Menyaksikan keributan itu, mama menghampiri kami untuk melerai dan memarahiku. Mama tak pernah membelaku. Mama justru lebih membela si sulung yang lebih dulu memancing emosiku. Aku semakin marah dan berpikir keras, kira-kira perbuatan jahat apa yang dapat membuat kakakku terzalimi.

Ting, dalam hal kejahatan, otakku selalu berjalan dengan baik. Mataku tertuju pada meja belajarnya yang sangat rapi. Dia laki-laki, tetapi dia begitu apik dan meja belajarnya selalu rapi seperti meja belajar perempuan. Orang yang rapi pasti tidak suka jika mejanya berantakan. Aku pun mengurungkan niatku untuk meninju wajahnya. Aku berlari ke arah meja belajarnya, kemudian melempar semua buku yang telah tersusun urut mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling pendek. Lebih jahat lagi, aku merobek kertas jadwal pelajaran yang sedari tadi asyik dibuatnya dengan susah payah. Puas sudah perasaanku, terlebih ketika melihat wajah murung si sulung menyaksikan meja belajarnya seperti kapal pecah. Namun, rasa puas itu tak bertahan lama. Rasa puas itu hilang seketika saat mama mengatakan, “Udah biarin, A. Dia enggak usah ditemenin.” Seru mama sambil membantu si sulung merapikan buku-bukunya.

Bersambung

32

SHARES

Bagikan di Facebook

Kategori: Cerpen, Fun


Komentar Abi/Ummi?

Inovasi Keren Afrakids
Download E-book

Copyright © 2015 · AbiUmmi.com Komunitas Keluarga Islami Indonesia