“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya (rakyatnya),” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar).
Hadis di atas adalah hadis tentang pemimpin yang menegaskan bahwa setiap individu yang terlahir di dunia ini pada hakikatnya adalah seorang pemimpin. Tugas kepemimpinan yang kali pertama tersemat pada diri seseorang adalah tugas memimpin dirinya sendiri. Dalam menjalankan tugas, ia dituntut untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab, benar, mandiri, kuat, cerdas, dan bijak layaknya seorang pemimpin.
Keberhasilan seseorang dalam menjadikan dirinya sebagai pemimpin yang sukses dalam memimpin dirinya sendiri kelak akan sangat berpengaruh bagi tugas kepemimpinan yang lain, yaitu ketika ia mulai menerima tanggung jawab untuk memimpin sistem di luar dirinya, seperti rumah tangga, keluarga, masyarakat, negara, dan agamanya.
Tanggung jawab menjadi seorang pemimpin bukanlah perkara yang mudah karena menjadi pemimpin berarti siap bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Tanggung jawab itu pun tidak hanya terbatas pada yang lahir dan hanya berkaitan dengan duniawi. Akan tetapi, ada tanggung jawab yang lebih besar lagi, yaitu tanggung jawab akhirat yang justru lebih berat untuk dipikul oleh pemimpin mana pun di dunia ini. Dalam hal ini, salah satu tanggung jawab pemimpin adalah menjadi penentu kebaikan dan kerusakan yang terjadi di dalam masyarakat yang akan berdampak, baik di dunia maupun di akhirat.

Seorang pemimpin akan menjadi salah satu pemandu yang mengantarkan masyarakatnya menuju surga atau neraka. Pemimpin yang beriman dan bertakwa kepada Allah akan mampu membawa rakyatnya memasuki surga Allah yang dipenuhi dengan kenikmatan yang abadi. Sungguh beruntung suatu masayarakat yang dipimpin oleh pemimpin seperti ini. Ia mampu menuntun dirinya sendiri untuk menjadi ahli surga dengan kepemimpinnnya. Hal ini dijelaskan dalam hadis tentang pemimpin berikut.
“Penghuni surga terdapat 3 kelompok: (1) pemimpin (penguasa) yang adil dan mendapat taufik (dari Allah), (2) orang yang penyayang, lemah lembut kepada setiap kerabat, dan muslim, dan (3) orang berkeluarga yang menjaga kesucian dirinya (dari maksiat),” (H.R. Muslim dari Iyadh bin Himar).

Baca juga: Kata Bijak Seorang Pemimpin, Rasulullah saw.
Baca juga: Ciri Pemimpin yang Baik
Pemimpin yang adil dan diberikan hidayah oleh Allah adalah pemimpin yang wajib ditaati oleh rakyatnya. Siapa pun yang menaati pemimpin seperti ini berarti telah taat kepada Allah dan rasul-Nya. Allah menjanjikan surga bagi siapa pun yang taat kepada-Nya dan rasul-Nya. Bentuk ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya juga dibuktikan dengan ketaatan kepada pemimpinnya. Namun, dalam hal ini, pemimpin yang wajib ditaati tentunya yang beriman dan bertakwa kepada Allah dan rasul-Nya serta tidak berbuat kezaliman kepada rakyatnya. Dalam hadis tentang pemimpin berikut dijelaskan bahwa setiap orang hendaknya taat kepada para pemimpinnya.
“Barang siapa yang taat kepadaku, niscaya ia taat kepada Allah. Dan, barang siaapa yang durhaka kepadaku, niscaya ia durhaka kepada Allah. Barang siapa yang taat kepada pemimpin, ia ta’at kepadaku dan barang siapa yang durhaka kepada pemimpin, ia durhaka kepadaku,” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa salah satu ahli surga adalah pemimpin yang adil serta dinaungi oleh Allah dengan taufik dan hidayah. Pemimpin seperti ini nantinya juga akan membawa rakyatnya untuk ikut serta dengannya menuju surga.

Namun, ternyata banyak pemimpin yang tidak bisa mengemban amanahnya dengan baik di atas jalan kebenaran yang diperintahkan oleh Allah. Ia tidak memberikan ketenteraman dan keadilan bagi masyarakatnya, tetapi justru bertindak zalim dan khianat. Pemimipin seperti inilah yang kelak akan membawa diri dan rakyatnya ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Jika di dalam bermasyarakat dan berbangsa kita menemukan karakter pemimpin seperti itu, apakah kita harus tetap menaatinya atau kita diperbolehkan untuk menolaknya? Berikut ini beberapa hadis tentang pemimpin yang membolehkan kita untuk tidak mengikuti atau menolak seseorang yang memimpin kita.
“Sesungguhnya seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang mempersulit (menyusahkan) rakyatnya. Oleh karena itu, janganlah sampai kamu tergolong dari mereka,” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Aidz bin Amar).
Dari hadis tentang pemimpin tersebut, Rasulullah saw. mengingatkan kepada para pemimpin untuk tidak berbuat zalim dengan menyusahkan kehidupan rakyatnya. Menjadi pemimpin tidak berarti mendapatkan kesempatan untuk hidup mewah dan dipenuhi dengan kesenangan, sementara rakyatnya mendapatkan kesulitan dan kesusahan. Menjadi pemimpin seharusnya membuat kita makin terpacu untuk memberikan solusi bagi kemaslahatan masyarakat dan mempermudah hidup mereka yang semula dipenuhi kepedihan dan kesengsaraan. Jika kita memiliki pemimpin yang justru menyusahkan rakyatnya, kita boleh tidak mengikutinya karena dalam hadis tersebut, Rasulullah juga menganjurkan agar kita tidak termasuk ke dalam golongan pemimpin yang seperti itu.
“Tidaklah seorang hamba dianugerahi kepemimpinan oleh Alah atas suatu rakyat, lalu ia mati dalam keadaan curang (mengkhianati rakyatnya) melainkan Allah mengharamkan surga baginya,” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Ya’la Ma’qil bin Yasar).
Hadis tentang pemimpin tersebut menyatakan bahwa Allah mengharamkan surga bagi orang-orang yang memimpin masyarakat dengan cara yang zalim, yaitu dengan berkhianat. Pemimpin adalah seorang yang dijadikan panutan oleh rakyatnya. Ia diteladani atas segala sifat, sikap, dan kepribadiannya. Jika seorang pemimpin memiliki sifat khianat, dapat dipastikan sebagian rakyatnya pun akan mengikuti jejak yang sama. Apakah kita juga ingin menjadi manusia yang diharamkan untuk memasuki surga hanya karena mengikuti contoh pemimpin seperti itu?
Jika kita pernah salah dalam memilih pemimpin hanya karena janji-janjinya yang terasa manis didengar, janganlah kembali salah menentukan prinsip hidup yang justru menjerumuskan kita ke dalam api neraka. Kita boleh tetap menganggapnya pemimpin, tetapi tidak perlu mengikutinya. Sebagai rakyat yang telah mengetahui kebenarannya, cobalah untuk mengingatkan para pemimpin kita agar tidak terjebak pada sikap zalim dan khianat. Akan tetapi, jika sulit untuk mengubah kezaliman tersebut, sebaiknya kita menolak pemimpin tersebut.
“Pemimpin (penguasa) adalah bayangan Allah di muka bumi. Kepadanyalah berlindung orang yang teraniaya dari hamba-hamba-Nya. Jika ia berlaku adil, niscaya baginya ganjaran (pahala) dan bagi rakyatnya hedaklah bersyukur. Sebaliknya, apabila ia curang (zalim), niscaya dosalah baginya dan rakyat hendaklah bersabar. Apabila para pemimpin curang (zalim), langit tidak akan menurunkan keberkahannya. Apabila zina merajalela, kefakiran dan kemiskinan pun akan merajalela.,” (H.R. Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar).
Dari hadis tentang pemimpin di atas, disebutkan kata bayangan Allah yang artinya pemimpin adalah wakil Allah di dunia ini. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemimpin harus selalu dekat dengan Allah dan segala perintah-Nya. Pemimpin yang dekat dengan Allah dan selalu menjalankan perintah-Nya untuk berbuat adil dan menjauhi maksiat adalah salah satu penentu dibukanya keberkahan langit dan bumi. Jika pemimpin-pemimpin kita saat ini justru dekat dengan maksiat dan juga mengarahkan rakyatnya untuk ikut bermaksiat, pemimpin seperti inilah yang harus ditolak dan tidak wajib ditaati karena hanya akan membawa kesengsaraan dan kemurkaan Allah.
Dalam hadis tentang pemimpin yang lain, Rasulullah juga berkata sebagai berikut.
“Akan muncul pemimpin-pemimpin yang kalian kenal, tetapi kalian tidak menyetujuinya. Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya tidak terbebaskan (dari tanggungan dosa).” Sahabat lalu bertanya, “Apakah kami perangi mereka?” Rasul menjawab, “Tidak, selagi mereka masih salat,” (H.R. Muslim).
Hadis tersebut bermakna apabila kita dipimpin oleh seseorang yang menyimpang akhlaknya dan dekat dengan maksiat, kita boleh tidak menyukainya. Hal ini karena makna ketaatan terhadap ulil amri yang diperintahkan oleh Allah bukanlah taat kepada kebijakannya yang batil.
Meskipun demikian, dalam hadis tentang pemimpin di atas, Rasul menegaskan bahwa selama pemimpin kita masih mau menegakkan salat, kita tidak boleh memeranginya. Kita hanya diperkenankan untuk tidak mengikutinya dan boleh menolaknya karena Allah tidak menganjurkan setiap manusia mengikuti apa-apa yang tidak diperintahkan oleh Allah dan justru masuk ke dalam larangan-Nya.
Berdasarkan beberapa hadis tentang pemimpin di atas, kita dapat memahami bahwa suatu saat kita akan dihadapkan pada situasi orang yang kita pilih untuk menjadi pemimpin ternyata tidak kita sukai. Pemimpin tersebut berpotensi menjerumuskan kita ke neraka yang tidak ada satu pun manusia sanggup menahan panas percikan apinya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui cara memilih pemimpin yang dicintai dan mencintai Allah. Bacalah berbagai referensi, baik ayat Alquran atau hadis tentang pemimpin yang menjadi petunjuk cara memilih pemimpin yang benar. Jangan memilih seorang pemimpin atas dasar ikut-ikutan karena Allah telah menjelaskan dalam Alquran, surat Al Israa, tentang larang menaati siapa pun dan apa pun dalam keadaan tidak mengetahui mana yang hak dan batil.
“Dan, janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya,” (Q.S. Al Israa: 36).
Hot News:
6 Tips Menjadi Sang Pemimpin yang Luar Biasa
Tipe Pemimpin Seperti Apakah Nabi Muhammad saw.?
Ciri-ciri Seorang Pemimpin Dambaan